Bisikan Semangat
Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Menyeret kakiku dengan enggan tanpa tujuan. Kendraan berlalu-lalang tanpa memerdulikanku. Lagian, siapa aku, sampai harus diperdulikan mereka? Keluargaku saja tidak ada yang memerdulikanku. Hujan yang dari tadi turun berhasil mengguyurku hingga basah kuyup. Untung saja aku mengenakan jaket hitam kesayanganku. Jadi aku tidak gemetar karena kedinginan.
Pikiranku kembali melayang ke rumah. Bunda dan ayah pasti masih beradu mulut tanpa ada yang mau mengalah. Aku yang berusaha melerai pun terkena imbasnya. Aku dimarahi, dicaci, oleh ayah. Mereka sudah tidak menyayangiku. Aku pasti bukan anak kandung mereka. Lantas, siapa orangtua kandungku? Air mataku kembali mengalir..
***
“SUDAH! KEMATIAN RANDY BUKAN SALAHKU! SAMPAI KAPAN KAMU AKAN BERHENTI MENGUNGKIT-UNGKIT INI , RIO ?!” teriak bunda pada ayah dari dapur.
“ALAH! SIAPA LAGI KALAU BUKAN KAMU?! KAMU YANG MEMBIARKANNYA MENGGUNAKAN OBAT TERLARANG ITU HINGGA OD, KAN ?!” teriak ayah tak mau kalah.
Kak Randy adalah saudara kandungku satu-satunya. Ia lebih tua dua tahun dariku. Dua bulan yang lalu, ia ditemukan tewas di ruang tamu bersama seorang perempuan karena over dosis memakai narkoba.
Aku yang duduk di ruang tamu segera menghampiri ayah dan bunda.
“INI SEMUA SALAHMU!” ayah berteriak.. kemudian.. plak! Ayah menampar bunda! Baru kali ini aku melihat ayah menampar bunda! Air mataku jatuh, aku kaget. Ayah dan bunda menoleh ke arahku.
“Riska..” panggil bunda.
Aku berlari ke kamarku, ayah dan bunda mengejar. Aku ingin menutup pintu kamar rapat-rapat. Berharap semua itu hanya mimpi. Tapi gagal, ayah sudah menahan pintunya, dan mereka masuk.
“Maaf..” kata bunda. Aku memejamkan mataku. Semua perasaanku bercampur menjadi emosi yang meluap-luap.
“KENAPA?!” teriakku. “Kenapa ayah menampar bunda?! Apa salah bunda?!”
“Apa salah bunda?” ulang ayah. “Apa salah bundamu?!” kali ini nada suaranya ditekan. “DIA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN KAKAKMU! RANDY! BUNDAMU YANG MEMBUNUHNYA!” teriak ayah dengan emosi. Aku kaget. Aku belum pernah melihat ayah semarah ini.
“AKU TIDAK MEMBUNUH ANAKKU!” jerit bunda.
“Diam kau!” ayah mengangkat tangan hendak menampar bunda. ‘Kau’? Ayah memanggil bunda dengan sebutan itu?!
“AYAH!” teriakku. Ayah pun mengurungkan niatnya melukai pipi dan hati bunda.
“Kenapa kalian tiba-tiba mengungkit hal ini?! Sudah dua bulan kak Randy pergi. Tapi kenapa kalian beradu mulut sekarang?!” tanyaku sambil terisak.
“Kamu mau tau, Riska?” suara ayah memelan. Aku mengangguk. Benarkah aku mengangguk? Sedikit saja aku menggerakkan leherku. Karena aku tak yakin, apakah semua akan lebih baik setelah aku mengetahui semuanya.
“Jangan, Rio .. kumohon.. ini hanya salah paham!” kata bunda.
“Aku bilang diam!” ayah meneriaki bunda, lagi. Oh, Tuhan.. aku tak pernah mengharapkan datangnya hari ini.
“Ayah, sudah..” aku mulai menangis.
“Kamu tentu kenal dengan Siska.” Ayah memulai ceritanya. “Teman kakakmu yang menjerumuskan kakakmu ke jurang itu. Ternyata dia anak tante Ria, teman bunda yang paling akrab.” Tidak.. aku tidak mau mendengar lanjutannya. “Tadi..” ayah menghela nafas. “Ayah tidak sengaja membaca sms tante Ria” ayah menghela napas panjang. Lebih panjang dari yang sebelumnya.
“Bundamu yang merencanakan pertemuan kakakmu dengan gadis itu! Anak tante Ria!” be.. benarkah itu?
“TIDAK! Itu salah paham! Bunda mohon, Riska, jangan dengar kata ayahmu. Bunda hanya bermaksud menjodohkan kakakmu dengan anak tante Ria. Bunda juga tidak menyangka, kalau akhirnya akan seperti ini..” bunda menangis.
“JANGAN BERBOHONG!” bentak ayah.
“AKU TIDAK BER..” plak! Ayah menampar bunda, lagi!
“HENTIKAN!” jeritku. Tega-teganya kedua orangtuaku saling membentak dan menyakiti di depanku. Ayah dan bunda kaget melihat reaksiku. Ayah menghela napas panjang sambil menutup matanya.
“Diam kau! Kau hanya anak kecil yang tidak tau apa-apa! Jangan banyak bicara!” ayah tiba-tiba membentakku. Aku kaget.
“A-a.. apa?!” aku terisak. Apa yang terjadi dengan ayah?! Tadinya ia tidak seperti ini.
“Anak kurang ajar! Jangan suka mencampuri urusan ayah!” kenapa ayah?! Ada apa dengannya?! Kenapa semua emosinya ia tumpahkan padaku?!
“AAARGHH!!” aku segera berlari keluar kamar, mengacuhkan teriakan yang memanggil dan mengancamku. Aku membuka pintu rumah dengan kasar. Aku berlari sekencang-kencangnya. Yang aku inginkan hanya satu: pergi jauh-jauh dari hadapan kedua orangtuaku, dan.. sekarang aku di sini. Di jalanan dan berjalan tak menentu. Sendiri..
“Hhh..” aku menghela napas. Tiba-tiba pikiran untuk mengakhiri hidup melintas di kepalaku. Aku tersenyum pahit.
Benar juga.. aku pasti akan bahagia seperti kak Randy. Tidak perlu tersiksa oleh dunia. Tidak perlu mendengar pertengkaran ayah dan bunda. Mendengar jeritan-jeritan mereka yang menyayat hati.
Aku mendongakkan kepala. Jembatan layang yang tinggi itu tampak seperti jembatan menuju surga.. atau neraka? Aku tida tahu. Yang pasti, aku ingin segera mengakhiri semua ini. Yah, semuanya..
Dengan pasti aku melangkah ke arah jembatan itu. Aku menaiki tiap anak tangganya dengan perlahan.
Dulu, kami adalah keluarga bahagia. Bunda dan ayah selalu akur, seperti aku dan kakakku.
“Kakak janji, kakak akan selalu menjagamu. Membahagiakan ayah dan bunda.” Kata-kata kak Randy masih terngiang-ngiang di kepalaku.
“Kamu percaya dengan kakak?” tanyanya dengan senyum.
“Ya! Riska percaya.” Jawabku dengan senyum juga.
Aku kembali menangis. Kenapa semua berubah begitu cepat? Rasanya, baru kemarin kak Randy ada di sisiku. Membantuku mengerjakan PR, bermain game bersamaku, menemaniku, mendengar semua cerita-ceritaku..
“Kalo nanti besar, Riska mau jadi apa?” tanya bunda.
“Riska mau jadi suster!” jawabku mantap.
“Kenapa mau jadi suster?” tanya ayah.
“Iya dong, soalnya kakaknya kan calon dokter.” Celetuk kak Randy yang masih berumur 7 tahun.
“Haha.. bagus-bagus. Anak ayah dan bunda punya cita-cita yang bagus. Nanti pasti jadi orang sukses.”
“Bukan orang sukses, ayah.. Tapi dokter dan suster.” Jelasku dengan polosnya.
Kak Randy, ayah, bunda.. hh.. Aku menggenggam pagar jembatan dengan kuat. Mungkinkah aku harus berpamitan dulu dengan mereka? Dengan ayah, bunda, keluargaku.. Tidak! Tidak.. mereka tidak memerdulikanku. Keluarga hanya sebuah nama! Mereka berlindung dibalik nama itu. Padahal, mereka tak pernah memerdulikanku. Aku mengangkat sebelah kakiku. Tanganku memegang pagar jembatan dengan mantap. Aku menutup mata.
“Selamat tinggal, semua.. Kak, tunggu Riska, ya.” Batinku dalam hati. Aku menangis. Ku tutup mata sambil merasakan ajalku yang kian mendekat menghampiriku. Ajal yang akan membantuku keluar dari penderitaan duniawi yang begitu kejam.
“Riska..” sebuah suara mengagetkanku. Spontan aku menoleh ke arah suara itu.
“Kak.. kak..” aku tergagap.
“Riska..” panggilnya dengan senyuman.
“Kak Randy?!” aku kaget. “Kenapa Kakak bisa di sini?”
Kak Randy tak memerdulikan pertanyaanku. “Riska, jangan bodoh. Jangan lakuin hal itu. Itu dosa, Ris.. dosa.” Kata kak Randy. Aku hanya menunduk.
“Kamu masih ingat janji kakak sama kamu dulu?” tanyanya. Aku mengangguk perlahan.
“Kakak minta maaf. Kakak gak bisa nepatin janji kakak. Kakak juga minta maaf, karena kakak gak bisa bantu kamu menggapai cita-citamu.” Kata kak Randy tenang, masih dengan senyuman. Aku kembali menangis. Aku ingin mengutarakan semua isi hatiku. Aku ingin menangis sepuasnya. Tapi tubuhku menolak perintah otakku. Aku hanya berdiri dan menangis dalam diam.
“Itu semua bukan salah bunda! Jadi, kakak minta tolong sama kamu, ceritakan ke ayah kalau bunda memang berniat menjodohkan kakak dengan Siska. Yang bunda tidak tau, kakak dan Siska sudah saling mengenal dan kami memang memakai obat-obatan.” Kak Randy membelai rambutku.
“Kakak menyesal, Ris. Kakak telah menyia-nyiakan masa depan kakak. Kakak telah menyakiti orang-orang yang kakak sayang. Kakak akan tenang di sana kalau kalian hidup rukun. Kalau kalian bahagia, kakak juga akan bahagia..” kata kak Randy sambil menghapus air mataku. Ingin sekali aku memeluknya. Tetapi tubuhku masih tidak menuruti perasaan dan otakku.
“Janji sama kakak, jangan lakuin hal ini lagi, ya?” tanya kak Randy. Aku mengangguk.
“Bagus..” kak Randy memelukku. Aku menangis makin jadi. Aku membalas pelukan Kak Randy dengan kuat, aku tak ingin membiarkannya pergi lagi. Makin lama, tubuh kak Randy terbang membawaku. Terbang jauuh, ke angkasa. Apakah ini yang namanya kematian?
***
Tiba-tiba, cahaya terang memaksa masuk ke mataku. Aku membuka mata dengan susah payah, menghirup napas sebisaku, kepalaku sakit. Terdengar suara orang-orang berbicara. Aku berusaha menangkap pembicaraan mereka.
“Dok, Dok! Jantung pasien kembali berdetak!”
“Risskaa!! Terimakasih, ya Tuhan..” itu.. itu suara bunda!
“Bu, Pak, lebih baik Ibu dan Bapak tunggu di luar.” Kini suara seorang perempuan yang terdengar.
“Dok, Dok.. lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok.” Suara ayah!
“Ya, pasti. Anda tenang saja.” Jawab seorang pria. Aku mendengar suara pintu ditutup. Sebuah cahaya kembali memaksa masuk ke mataku. Kali ini lebih terang dan sangat silau. Suara mesin-mesin juga terdengar. Kemudian semuanya menjadi gelap lagi..
***
Cahaya kembali memaksa masuk ke mataku. Tapi kali ini tidak terlalu menyilaukan. Aku berusaha mengangkat tangan dan memegang kepalaku yang sakit. Selang-selang infus menahan tanganku. Butuh usaha yang keras..
“Riska! Ayah, Riska sadar!” suara bunda terdengar, kemudian aku mendengar suara derap kaki mendekat.
“Cepat panggil dokter!” perintah bunda, terdengar lagi suara langkah kaki yang menjauh dengan tergesa-gesa. Beberapa saat kemudian, pintu dibuka dengan kasar. Cahaya putih silau kembali memaksa masuk ke mataku. Kemudian..
“Keadaan anak Bapak dan Ibu mulai membaik. Ini sebuah mujizat. Padahal sebelumnya, ia koma selama 3 hari.”
“Riskaa..” aku merasakan ada yang memelukku. Aku berusaha membuka mata. Bunda? Bunda menangis.. Aku mengangkat tanganku dan memegang punggung bunda.
“Bunda, jangan menangis.” Kataku sedih. Bunda segera melepas pelukannya, lalu menyeka air matanya.
“Riska, maafin ayah dan bunda. Ayah terlalu emosi saat itu. Ayah tau ayah salah. Semua ini hanya salah paham.” Kata ayah.
“Ayah, sebenarnya..” aku kemudian menceritakan apa yang ku alami sebelum aku berada di sini.
“Mungkin Ayah dan Bunda tidak percaya. Tapi Ri ska tidak akan berbohong soal ini.” Aku mengakhiri ceritaku.
“Bunda percaya, Riska. Kemarin, kakakmu datang ke mimpi Bunda dan Ayah secara bersamaan. Kakakmu menceritakan sama seperti yang kamu katakan tadi.” Jelas bunda.
“Maafin ayah dan bunda. Ayah janji hal ini gak akan terulang lagi.” kata ayah sambil mengelus rambutku. Aku tersenyum.
Samara-samar terdengar suara.. “Kakak sayang kalian.”
Aku tersenyum. “Riska juga.” Balasku pelan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar