Senin, 14 Februari 2011


Persahabatan Di Bawah Gugur Daun

D
aun-daun pohon Jati tempatku bersandar mendayu-dayu dibelai hembusan angin. Beberapa daun yang berwarna hijau kekuningan mulai berjatuhan. Rumput-rumput yang ku duduki tak sesegar hari-hari sebelumnya. Semua itu terjadi karena musim kemarau telah tiba. Aku menghirup napas dalam-dalam. Kurasakan segarnya udara sore hari memenuhi dadaku. Semangat musim kemarau merasuki tubuhku. Aku tersenyum seraya menatap langit biru.
            Cukup sampai hari ini, ku tutup novel yang ku baca sedari tadi. Aku harus segera pulang sebelum bunda mencariku. Walaupun aku tak berada jauh dari rumah, bunda pasti cemas bila aku pulang dari jalan-jalan soreku diatas pukul 6:30 meskipun aku sudah duduk dibangku SMA. Tepatnya 1 SMA. Bunda khawatir karena kompleksku ini tidak pernah ramai dengan penghuninya. Jarang sekali anak-anak kecil bermain di luar rumah. Sekarang aku berada di taman kompleks perumahan tempatku tinggal. Jarak taman ini hanya 7 rumah dari istana sederhanaku. Aku segera bangkit berdiri. Tiba-tiba, kaki kiriku menginjak kerikil hingga aku terpeleset dan hampir jatuh. Aku segera memegang pohon Jati ini dan mencoba berdiri. “Fiuuh.. Untunglah.” batinku lega karena aku masih bisa menyeimbangkan diriku tadi. Kakiku sedikit terkilir. But totally, I’m fine.
Mataku menangkap sesuatu yang tak asing bagiku. Desiran hebat ku rasakan di hatiku saat aku melihat benda itu. Entah apa yang ku rasakan. Rasanya seperti tertusuk sebilah belati yang menancap dalam. Mataku panas. Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan dari pelupuk mataku. Rasa penyesalan yang sudah ku kubur dalam-dalam tergali lagi hingga meninggalkan bekas di hatiku. Semakin aku mengingat hal yang tak ingin ku ingat, semakin besar luka itu. Oh, Tuhan.. Aku amat menyesal.. Andai waktu bisa diputar ulang..
            Aku menatap ukiran berinisial “E & L” itu dengan perih. Pandanganku kabur karena terhalang air mataku. Tetapi ingatanku masih jelas. Ingatan tentang bagaimana bentuk ukiran di pohon ini, lika-likunya.. Yang paling penting, ingatan tentang siapa yang mengukirnya. Bagaimana wajahnya, senyumnya, sifatnya, suaranya, setiap candaan yang keluar dari bibir manisnya..
            Aku memegang kulit pohon yang terukir itu dengan hati-hati. Saat aku menyentuhnya, rasa sakit di hatiku semakin terasa. Semua ingatan yang tak ingin ku ingat lagi, sekarang datang membayang-bayangiku dengan rasa bersalah dan menyesal.
            I regret. Can I still have another chance?

*
             Lima tahun yang lalu..
            “Elyn.. Elyn..” sebuah suara yang sangat ku kenal memanggilku dari luar rumah. Aku segera berlari keluar tanpa memerdulikan omelan Kak Felix karena aku menabraknya.
            “Hai! Kenapa?” tanyaku dengan senyum setelah aku membuka pintu dan berjalan mendekati pagar rumahku dan membukanya.
            “Lagi ngapain? Ke taman yuk?” tanya Lizzy yang rumahnya hanya berjarak 2 komplek dari rumahku.
            “Mmm.. Oke!” aku segera menutup pintu rumah dan pagar rumahku. Tak lupa aku meminta ijin pada bunda dan memeletkan lidah pada kak Felix sebelum pergi. Lizzy, sahabatku itu berjalan dengan tergesa-gesa. Nampaknya ia tak sabar akan suatu hal. Setelah sampai di taman yang jaraknya hanya 7 rumah dari rumahku, ia segera menarikku ke dekat pohon Jati yang berdiri kokoh di tengah-tengah taman.
            “Ada apa, sih?” tanyaku pensaran.
            “Lihat nih..” tunjuknya pada sebuah ukiran yang ia buat. Ukiran itu berinisial nama kami. Aku tersenyum.
            “Bagus.” pujiku. “Kamu yang buat?”
            “Iyap! Aku harap persahabatan kita tak akan tetap kokoh seperti pohon ini.”
            “Amin.” kataku seraya tersenyum.
            “Oh, ya! Gimana kalau kita tulis impian-impian kita di kertas, lalu kita kubur di bawah pohon ini? Siapa tau impian kita yang setinggi langit akan tercapai seperti tingginya pohon ini!” katanya bersemangat. Seperti biasa, otaknya penuh dengan ide-ide gila menyenangkan yang tak pernah ku pikirkan sebelumnya.
            “Amin lagi.”
            “Nih..” Lizzy menyerahkan selembar kertas dan sebuah pen kepadaku. Aku dan dia mengambil posisi duduk yang nyaman di bawah pohon dan terlindung dari sinar matahari. Kemudian kami mulai menulis mimpi-mimpi kami. Dari yang bisa dicapai, hingga yang tak mungkin dicapai. Hanya semilir angin dan kicauan burung yang menemani kami saat kami beripikir dan menulis impian kami. Daun-daun pohon Jati mulai berguguran lagi. Angin tak henti-hentinya membelai daun-daun pohon itu.
            “Selesai!” kataku. Aku melirik sahabatku. Ia mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan sebuah botol kosong dan menyimpan kertas-kertas impian kami di dalamnya. Kami berdua menggali sebuah lubang kecil dengan tangan dan mengubur botol itu.
            “Botol itu dibuka kalau kita uda SMA, ya! Kita akan membukanya sama-sama! Janji?” katanya.
            “Okeh! Janji!” jawabku sambil tersenyum sumringah..

*
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Hingga suatu hari..
“Kamu tau ngak, Ra? Aku tuh benci banget sama dia! Dia tuh tukang pamer, sok kaya, sombong, dan suka membicarakan tentang kehebatan-kehebatan dia yang tak nyata!” aku tak sengaja mendengar pembicaraan Dara dan Lizzy di dalam kelas kosong setelah pulang sekolah. Aku memutuskan untuk mendengar lebih lanjut.
“Ih, pengen aku cakar mukanya. Aku gak betah duduk di samping dia..”
Deg! Benarkah itu? Tapi.. tapi.. mungkin ‘dia’ yang Lizzy maksud bukan aku. Karena aku duduk di samping Lizzy di dalam kelas.
            “Positif think, Elyn..” batinku menenangkan jantungku yang mulai berdegup kencang.
            “Emang dia siapa?” tanya Dara yang sama penasarannya denganku.
            “Hhh..” Lizzy menghela napas. “Siapa lagi kalau bukan cewek paling centil di kelas kita? Yah, Eline lah!”
Hah?! Apa?! Apa aku tak salah mendengar hal itu? Elyn?! AKU?!
            “Eline?” ulang Dara.
            “Ya! Eline!”
Astaga.. Apa salahku? Semua itu tidak benar! Lizzy memfitnahku! Betapa kejamnya dia! Aku kira, dia sahabat yang baik! Ternyata.. Ternyata di balik kebaikannya itu.. Air mataku mulai membasahi pipiku. Aku segera berlari keluar gerbang sekolah tanpa memerdulikan orang-orang yang menatapku dengan bingung.
Hari-hari t’lah berlalu, aku menjauhi Lizzy sebisaku. Bahkan, aku membujuk wali kelasku untuk mengijinkan aku pindah tempat duduk. Seperti yang Lizzy harapkan. Aku juga tidak mau duduk di samping pengkhianat seperti dia!

*
            Hingga pada suatu hari, Lizzy menegurku dengan senyum yang biasanya. Tapi aku pura-pura tidak melihatnya dan terus berjalan. Ia menarik tanganku hingga aku bertatap muka dengannya.
            “Elyn! Kamu kenapa, sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauhiku. Apa salahku? Kamu berubah! Kamu tak mau lagi berbicara denganku. Kamu tidak memerdulikanku!” Lizzy berbicara dengan nada tinggi. Mungkin ia marah karena aku tak memerdulikannya selama ini. Tapi.. Itu salah dia! Jangan salahkan aku.
            “Kamu kenapa?” suaranya melemah.
            “Tanya saja pada dirimu sendri apa salahmu! Dasar tukang fitnah!” sergahku dengan tajam.
            “Ha?! Maksudmu?!” tanya Lizzy heran.
            “Halah! Gak usah pura-pura gak tau! Mulai sekarang, jangan pernah anggap aku temanmu, apalagi sahabatmu! Karena kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku mulai detik ini! Aku benci kamu! Aku muak dengan ide-ide gilamu!” jeritku sambil menahan amarah. Lizzy terdiam. Aku berlari segera meninggalkannya.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihat Lizzy di sekolah. Tak ada kabar dari dia. Aku tak tahu apa alasannya dan tidak mau tahu. Aku tak peduli lagi dengan dirinya.
            Belakangan ini ku ketahui dari bunda, dia dan keluarganya pindah ke Yogyakarta. Hanya itu yang ku tahu. Aku tak berniat mencari tahu lebih banyak lagi. Tak ada gunanya bagiku.

*
4 bulan berlalu setelah peristiwa itu..
            Aku mulai terbiasa di sekolah tanpa dia. Kadang, aku rindu dengan ide-ide gilanya. Tetapi saat aku mengingat apa yang dikatakannya padaku, rasa marahku yang tak tertahankan membuatku ingin mencekiknya..
            Hari ini, kelas kami menerima murid baru pindahan SD lain. Kami menyambutnya dengan hangat. Ia duduk di sampingku. Dari perkenalan singkatnya tadi, aku mengetahui ia bernama Eline. Cara memanggil namanya sama dengan cara memanggil namaku. Yang berbeda hanya tulisannya. Aku mengetahui perbedaan itu setelah aku melihat nama di seragam bajunya. ‘Eline C P’ begitu yang tertulis. Aku membuka pembicaraan.
            “Hai, Eline.” kataku dengan senyum. Ia balas tersenyum.
            “Hai.” katanya.
            “Oh ya. Namaku Evelyn Ernata Ely. Biasanya, teman-temanku memanggil ku ‘Elyn’. Salam kenal.”
            “Oh, nama panggilan kita sama. Nama lengkapku Eline Clrassia Putri. Senang berkenalan denganmu. Hehe..” ia tersenyum. Manis sekali.
            Aku kira, Eline adalah anak yang baik dan cocok untuk dijadikan teman akrab. Ternyata tidak. Ia sangat sangat sangat sombong. Semua alat tulisnya yang mahal, ia pamerkan pada teman-teman sekelasnya. Harusnya aku mengingat pepatah: “Don’t judge a book from it’s cover”

*
            “Eh, anak baru yang namanya Eline itu sombong banget, ya!” kata Rere pada Dara.
            “Emang! Sombong banget! Kemarin, dia memamerkan kotak pensil barunya padaku. Katanya, ‘papaku membelikannya dari Jerman untukku!’ ” Dara meperagakan gaya Eline berbicara. Rere tertawa. Aku yang duduk di samping mereka pun tertawa.
            “Hahaha..” tawaku lepas.
            “Haha! Emang gayanya gitu, ya?” tanya Rere yang masih cekikikan.
            “Yaaah.. Kurang lebih, lah.” Dara mengedipkan sebelah matanya pada kami. Aku dan Rere kembali tertawa.
            “Oh ya, Ra. Katanya, Eline itu tempat lesnya sama dengan kamu, ya?” tanya Rere.
            “Iya! Makanya aku tak suka dengan dia semenjak dia pertama kali masuk ke kelas kita.”
            “Ouh..” aku dan Rere membentuk mulut kami seperti huruf O.
            “Dulu, temanku yang satu les dengan kami juga sangat membencinya. Malang sekali temanku itu. Ia harus duduk satu bangku dengan Eline.” jelas Dara.
hah!? Apa?
            “Ha? Yang bener?” tanya Rere.
            “Yup. Kalau kamu gak percaya, tanya aja sama dia. Eeh, sorry.. gak bisa.” ralat Dara dengan cepat.
            “Lah, kenapa?” tanya Rere.
            “Dia udah pindah ke Yogyakarta.”
Astaga..
            “Eh, Ra, Elyn, aku pulang dulu, yah. Babai..” kata Rere memotong pembicaraan. Dara tersenyum dan mengangguk, sementara aku hanya terdiam. Setelah mobil Rere menghilang di balik tikungan jalan menuju sekolah, aku membuka pembicaraan dengan Dara.
            “Dara, teman yang kamu maksud itu.. Lizzy?” tanyaku hati-hati.
            “Iya.” jawab Dara santai. “Kenapa?”
Hatiku terasa perih..
            “KIra-kira 4 bulan yang lalu.. Ketika kamu dan Lizzy berdua di dalam kelas kosong sepulang sekolah, kalian membicarakan Eline?”
            “Ngg..” Dara mencoba mengingat-ingat. “Gak tau, yah. Soalnya kami sering membicarakan Eline.”
            “Oh.” sahutku lemas..
            “Eh, 4 bulan yang lalu? Itu.. Sehari sebelum kamu pindah tempat duduk dari samping Lizzy? Iya iya! Kami membicarakan Eline. Kenapa?” tanya Dara. Aku menggeleng cepat.
            “Aku duluan, ya.” Aku segera berlalu.
            Dalam perjalanan pulang, aku menangis. Aku menyesal telah menyalahkan Lizzy. I know that I’m leaving my best fiend. Ini semua salah paham! Kenapa aku begitu bodoh?!

*
Itu semua yang ku ingat..
            Air mataku jatuh kian deras. Aku duduk kembali di atas rumput-rumput di bawah pohon Jati itu. Aku menggali lubang tempat dimana aku dan Lizzy memendam impian-impian kami. Aku mendapati sebuah botol putih. Aku segera mengambilnya. Aku membuka isinya dan membaca kertas milik Lizzy.

          Impianku..
  1. aku mau keluargaku bahagia dan sehat selalu
  2. aku mau nilai-nilai raporku bagus
  3. aku mau menjadi juara kelas
dan yang paling penting..
     aku mau persahabatan aku dan Evelyn Ernata Ely abadi seperti pohon Jati ini!! :D

      Aku kembali menangis. Kakiku lemas, aku terduduk di bawah pohon jati itu. Langit sudah berwarna biru abu-abu. Semburat mega yang berwarna kuning jingga berkelompok sejauh pandanganku. Aku menekuk kakiku dan menenggelamkan wajahku di baliknya. Aku kembali terisak.
      “Andai waktu bisa diputar ulang..” kataku lirih.
      “Kamu tidak perlu memutar ulang waktu, kita bisa memulai semuanya dari awal lagi.” sebuah suara yang amat ku kenal mengagetkanku. Aku menengadahkan kepalaku. Aku terkejut.
      “Hai.” sapa sang pemilik suara. “Lama tak jumpa. Kamu rindu nggak sama aku?” tanyanya. Aku tak mampu berkata-kata.
      “Ditanya kok gak jawab?” ia membantuku berdiri hingga aku bertatap muka dengannya.
      “Lizzzyy!!” aku memeluk sang pemilik suara dengan kuat. Aku enggan melepasnya. Ya, sahabat yang dulu ku sia-siakan telah kembali. Sahabat? Apakah ia masih menganggapku seorang sahabat?
      “Lizzy.. maafkan aku. Aku salah paham waktu itu. Aku yang salah.. aku..”
      “Sudahlah, itu sudah lama. Tak ada gunanya diungkit-ungkit lagi.”
      “Tapi..”
      “Shhtt.. sekarang, liat aku.” Lizzy menangkap mataku. “Aku sudah di sekarang, di depanmu. Kita bisa memulainya dari awal.” katanya sambil tersenyum. “Now.. apakah kamu menyambutku dengan cara seperti ini? Dengan tangisan? Tak maukah kamu tersenyum kepadaku? Sudah lima tahun aku tidak melihat senyum manismu. Aku rindu.” katanya. Aku tersenyum tipis.. senyuman tipis yang berubah menjadi lebar dan senyuman bahagia.

      “Akuu..” Lizzy menghentikan ucapannya.
      “Ya?” tanyaku setelah aku berhenti menangis.
      “Aku..”
      “Kamu kenapa?”
      “Aku kebelet mau ke kamar kecil. Numpang di rumahmu, ya? Hehe..”
      “Ya e lah.. Kenapa gak bilang dari tadi?”
      “Hehe.. Aku juga rindu dengan kue buatan bundamu. Oh ya, sudah lama kita tidak mengerjai Kak Felix sama-sama. Bagaimana kabar keluargamu?”
      “Bunda baik. Ayah sehat. Kak Felix tidak berubah sama sekali. Malah sekarang tambah jahil.”
      “Oh.. Aku sudah tidak sabar. Haha..”

Kami berdua berjalan meninggalkan taman kompleks menuju istana sederhanaku. Seorang putri yang lama pergi telah kembali hari ini. Daun-daun pohon Jati mulai berguguran lagi. Aku harap, pohon Jati itu akan terus berdiri selamanya, seperti persahabatan kami..
Sorry, I’ll never do it again..
Finally, He give me a second chance.. thanks, God..

end =)



   “ Indahnya dunia hanya sementara..
   Indahnya cinta hanya seketika..
   Indahnya mimpi tak pernah pasti..
   Tapi indahnya persahabatan akan selalu abadi.. ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar