ku akan menebus semua kesalahanku padamu. Aku akan meraih mimpimu, aku akan terus berusaha. Hingga mimpimu tercapai. Semua ini ku lakukan, demi kamu, sahabatku..
Alysia Suryadi atau yang lebih akrab disapa Alys berdiri mematung di depan sebuah papan pengumuman universitas ternama. Senyum manis mengembang di bibirnya. Rambut panjang ikalnya dimainkan angin. Raut wajah puas tampak di mukanya.
“Hai, Lys..” sapa Eka.
“Oh, hai, Ka.” Jawab Alys sambil tersenyum. Eka kemudian meneliti papan pengumuman tersebut.
“Ew.. Kamu jago, Lys. Masuk tuh.”
“Eh, iya. Kamu?” tanya Alys hanya sekedar basa-basi. Sebenarnya ia tahu, bahwa nama Eka tidak terpampang di papang pengumuman.
“Aih.. Aku gagal. Gak ada namaku. Kayaknya harus coba di universitas lain.”
“Oh, berjuang terus, ya!”
“Sip..” kata Eka sambil mengacungi jempol. “Ciee.. Yang mau jadi calon dokter nih. Haha.. Ntar kalo buka praktek, khusus buat aku gratis, yo.”
“Ah, gampang itu. Haha.”
***
“Hai, Sya. Apa kabar? Baik?” tanya Alys.
“Kamu tau? Aku masuk universitasnya, lho! Ini semua kan berkat kamu..”
Alys kembali menerawang.. Saat..
***
11 tahun yang lalu..
“Syaa! Sini sini! Haha! Ayo kejal aku!” teriak Alys sambil berlari dari kejauhan. Natasya, teman Alys sejak masuk TK pun menuruti kemauan anak kecil bernama Alys yang kini menjadi sahabatnya.
“Hahaha..” Alys hanya tertawa. Setelah Alys merasakan lelah seperti yang dirasakan sahabatnya, ia pun menghampiri Natasya yang sedang duduk di bawah pohon. Semilir angin yang sejuk memainkan rambut dan rok kedua insan muda ini. Juga membelai daun-daun pohon di taman dengan lembut.
“Sya, kemalin kan kita dibeli tugas sama Bu Elika, apa tugasnya? Aku lupa.” Tanya Alys memecah keheningan.
“Ha? Bu Elika? Bu Erika! E – ri – ka!”
“Ish.. Sya-sya.. Kamu kan tau aku nggak bisa ngomong ‘el’..”
“Haha..” Natasya tergelak. Semburat merah di pipinya muncul karena ia tertawa. “Mm.. Tugas, ya? Disuruh gambar cita-cita kita.”
“Oh? Cita-cita.. Mm.. Cita-cita kamu apa, Sya?”
“Aku? Aku mau jadi dokter.”
“Ha?! Doktel?! Haha!” Natasya hanya diam saat Alys mengetawai apa yang keluar dari mulutnya.
“Kenapa?” tanya Natasya setelah Alys puas tertawa.
“Halusnya aku yang tanya, kenapa kamu mau jadi doktel?”
“Yaah.. Soalnya dokter itu baik. Dokter selalu menolong orang lain, siapa pun orang itu. Kemarin aja, aku nemuin burung yang terluka, trus, kamu kenal tetanggaku, kan? Om Pras.. Dia kan dokter. Burung itu diobatin sama Om Pras dan dirawat.”
“Waaw..” Alys yang masih polos terkagum-kagum akan cerita yang diceritakan sahabatnya. Padahal mereka masih duduk di bangku SD kelas 1.
“Kalau kamu, Lys? Kamu mau jadi apa?”
“Aku mau jadi pengusaha.. Supaya dapat uang yang banyaaaak, telus, bisa ajak kelualga-kelualgaku pelgi jalan-jalan ke lual negeli. Yang paling penting, bisa beli banyak pelmeeen! Yeeyeeyee!” Alys mengakhiri kata-katanya dengan senyuman puas.
“Permen terus, ih..” sindir Natasya.
“Bial (biar).. Weeek..”
“Gara-gara permen tuh, kamu gak bisa ngomong ‘er’..”
“Eh? Masa, sih?” tanya Alys dengan muka polos yang membuat semburat merah di pipi Natasya kembali terlihat karena Natasya tertawa.
***
Angin di sore hari membuat rambut Alysia yang dikuncir dua menjadi berantakan. Permen lollipop rasa coklat yang dari tadi ia makan, hampir habis. Sedangkan sahabatnya, Natasya, hanya duduk diam di samping Alys.
“Sya.. Sya.. Kamu mau pelmen nggak? Aku masih ada banyak nih.” Kata Alys sambil mengeluarkan tiga tangkai lollipop dari saku bajunya.
“Ih, enggak ah.. Ntar aku gak bisa ngomong ‘er’.. Haha!”
“Yih! Natasya..” Alys merajuk.
“Hehe..”
Semua kembali sunyi. Natasya memandangi Alys dengan lama. Alys pun sadar ia diperhatikan oleh sepasang mata bulat yang coklat.
“Kenapa, Sya?”
“Eh, enggak. Hehe.. aku cuma merasa, kita bakal terpisah. Jauh. Jauuuh, banget.”
“Ha? Yang benel? Kamu mau kemana?”
“Gak tau..”
“Aih, jangan dong..”
“Aku juga gak mau, Lys. Tapi.. Rasanya..” kata-kata Natasya terhenti saat ia melihat seekor kucing yang berjalan tertatih-tatih. Darah mengalir dari kaki kucing itu. Natasya melihat ke kiri, sebuah sepeda motor melaju kencang. Tanpa ragu, Natasya pun berlari untuk menyelamatkan kucing tersebut. Dengan seketika..
“Natasyaaaaaaaa!!” Alys berteriak dengan kuat. Ia terduduk dan menangis. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya..
***
“Ma.. Mama.. Hiks.. Natasya kemana sih, Ma? Kok dia nggak pernah datang ke rumah kita lagi, Ma? Alys kangen sama Natasya.. Hikks..”
“Uda dong, sayang. Jangan nangis lagi. Natasya pergi ke tempat yang jauh, nak.”
“Tapi Alys kangen sama dia.. Dia kemana?”
“Natasya pergi ke..” kata-kata seorang ibu-ibu yang dipanggil ‘Mama’ oleh Alys terhenti. “Suatu saat nanti, kamu pasti bisa ketemu lagi kok, sama Natasya.” Lanjutnya.
“Kapan, Ma?”
“Nanti..”
“Nanti itu kapan, Ma?!” Alys kembali menangis..
***
“Sya.. Waktu itu aku bodoh, ya. Nggak ngelarang kamu ke sana. Aku nggak ngelarang kamu untuk nyelamatin kucing itu. Hh..” kata Alys dengan nada melemah.
“Yaah.. Ya udah lah. Itu kan uda lama. Nggak ada yang perlu disesali lagi. Kamu pasti senang deh, di sana. Aku kangen sama kamu, Sya..
Kalau kamu masih ada, sekarang kamu pasti cantik banget, dan.. Kamu nantinya pasti jadi dokter yang terkenal.” Alys kembali teringat oleh kelulusannya mengikuti tes untuk masuk ke universitas.
“Ini semua baru permulaan, Sya.. Permulaan. Tunggu beberapa bulan lagi, aku, pasti akan jadi dokter. Seorang dokter seperti yang kamu inginkan, Sya.” Kata Alys sambil tersenyum.
“Udah dulu, ya, Sya. Uda sore. Aku harus pulang dan menyampaikan kabar gembira ini sama keluargaku. Thanks, Sya.. Makasih buat semuanya.
Oh ya, satu lagi. Kayaknya aku gak bisa sering-sering lagi ke sini. Soalnya, persiapan untuk menjadi seorang dokter itu panjang dan berat. Tapi aku akan meluangkan waktu untuk kamu. Bye, Sya..”
“Ini semua baru permulaan, Sya.. Permulaan. Tunggu beberapa bulan lagi, aku, pasti akan jadi dokter. Seorang dokter seperti yang kamu inginkan, Sya.”
Sabtu, 19 Februari 2011
Apakah Engkau Yesus?
D
isaat kita melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak menurut ego dan kepentingan diri kita sendiri. Saat itulah, kita melakukan hal yang paling benar..
Beberapa tahun yang lampau, ada sekelompok pramuniaga pergi menghadiri sebuah pertemuan di Chicago. Mereka meyakinkan keluarga mereka bahwa mereka akan pulang ke rumah pada hari Jumat. Namun, apa yang terjadi? Pertemuan itu ternyata melampaui batas waktu yang telah dijadwalkan.
Akhirnya, setelah rapat selesai, mereka (para pramuniaga) bergegas menuju bandara untuk mengejar pesawat agar tidak ketinggalan.
Ketika mereka sampai di bandara, salah seorang dari mereka tidak sengaja menyenggol meja yang berisi apel dagangan seorang anak kecil yang buta. Tanpa menghiraukan kesalahan yang dibuat teman mereka, semua pramuniaga itu bergegas menuju bagian pemberangkatan.
Tetapi, ada seorang dari mereka yang terdiam. Ia bimbang, apakah ia harus membantu anak itu membereskan dagangannya? Sementara pesawat akan berangkat sebentar lagi.
Ia akhirnya memutuskan untuk tinggal dan ia merasa lega dan gembira karena telah membuat keputusan ini.
Pramuniaga itu berjalan ke arah gadis kecil yang buta itu. Ia membantu gadis itu membereskan dagangannya. Ternyata ada sebagian apel yang telah rusak. Pramuniaga itu pun mengeluarkan sejumlah uang seraya berkata,
“Ambillah uang ini sebagai ganti kerusakan. Maafkan kesalahan temanku tadi.” Katanya sambil tersenyum, walau sang gadis tidak dapat melihat senyuman sang pramuniaga. Ketika si pramuniaga hendak pergi, gadis kecil itu berteriak padanya,
“Apakah Engkau Yesus?!” teriak sang gadis dengan polosnya. Si pramuniaga menggeleng.
“Bukan. Saya hanya pengikut-Nya!”
Oleh: M.S
(dengan perubahan seperlunya)
Rabu, 16 Februari 2011
Molly Sahabatku
A
ku yang diasingkan, sangat merindukanmu. Kamulah yang menemaniku.. Dikala sedih maupun senang, setia bersamaku, mendampingiku setiap saat. Aku menyesal telah melakukan itu kepadamu.. Meskipun kamu hanya..
Aku memencet bel rumah dengan kasar seraya mengehentak-hentakkan kakiku.
“Ish! Nyebelin banget sih, mereka?! Ugh!!” jeritku dalam hati. “Aih!! Lama banget, sih?! Buka pintu aja susah!” aku mulai mengetuk pintu dengan kasar. Tepatnya menggedor pintu.
“Maa!! Mamaaaa!! Bukain dong, pintunyaaaaaghh!!” aku berteriak kesal. “Bi Ijaaaah!!” sambungku sambil menggedor pintu. Lalu terdengar suara derap kaki yang tergesa-gesa menuju pintu. Aku bersiap-siap menyembur siapa saja yang membuka pintu. Sesaat sebelum pintu terbuka, terdengar suara yang amat ku kenal. Emosiku meluap, aku tersenyum. Pintu kemudian terbuka..
“Maaf, non Rosa. Bibi tadi lagi di dapur, masakannya hampir gosong. Maaf, ya, non.” Jelas Bi Ijah.
“Iyah, gak apa-apa, kok, Bi.” Aku menjawab dengan senyuman. Bi Ijan melongo.
“Molly mana?” tanyaku.
“TadiMolly langsung lari ke kamar waktu bibi buka pintu.”
Aku langsung masuk dan berlari ke kamar. Dengan cepat aku membuka pintu.
“Hai! Molly!” sapaku dengan semangat sambil menyunggingkan senyuman yang lebar.
“Tau nggak, tadi aku hampir marahin Bi Ijah, loh! Soalnya dia buka pintu lamaaa banget.” Jelasku sambil mengedipkan sebelah mataku pada Molly. “Lalu aku denger suara kamu, gak jadi marah, deh.” Kataku seraya memeletkan lidah pada Molly, lalu tersenyum padanya. “Kekesalanku juga aku bawa pulang dari sekolah. Biasaa..” aku menghela napas panjang. Kemudian melempar tasku ke meja belajar. Aku berjalan ke kasur, dan duduk di samping Molly.
“Molly.. Kenapa sih, mereka gak bisa nerima aku? Semenjak aku masuk ke SMP Pelita Harapan Bangsa, semenjak aku meraih prestasi-prestasi yang sebelumnya tak bisa diraih teman-temanku, aku makin dijauhi. Aku dibilang sombong sama mereka. Diejek, dicaci, difitnah..” air mataku menetes.
“Padahal aku nggak gitu. Aku uda coba bersahabat sama mereka.. Aku rindu sama Natasya yang di Pontianak. Di Surabaya nggak enak! Coba papa nggak dapat tugas di sini.” Aku memelankan suaraku.
“Aku pasti gak bakal diginiin sama mereka. Aku nggak perlu kenal sama mereka. Aku lebih suka sama teman-temanku yang di Pontianak. Meskipun mereka sama jahilnya dan suka mengejekku, mereka tak pernah menyakitiku. Terutama Natasya. Aku kangen sama Pontianak.. semuanyaa..” aku kembali terisak. Molly hanya bisa memandangku dengan tatapan sedih. Seakan-akan ia tahu apa yang ku rasakan. Melalui matanya, ia seperti memberi tahu kepadaku: “Tenang, Rosa. Kalian hanya butuh waktu untuk saling menerima. Aku juga kangen, kok, sama Pontianak. Kamu gak perlu sedih. Aku akan selalu menemani kamu. Aku janji.”
Aku membelai Molly. Tiba-tiba HP-ku melantunkan lagu Justin Bieber yang berjudul Eenie Meenie. Ada yang menelepon! Segera ku sambar HP-ku dari atas meja belajar.
Aku hampir menjerit. “Natasya menelepon!” kataku pada Molly.
“Haloo.. Halo?! Natasya?!” aku menjawab dengan semangat.
“Aduh, Ros.. nggak perlu teriak-teriak, kali.”
“Ehh.. Sorry sorry. Aku hanya terlalu bersemangat. Hehe..”
“Apa kabar?” tanyanya.
“Baik, kok. Kamu?”
“Baik, dong! Gimana sekolahnya?”
“Ugh.. Kamu tau lah.. teman-temanku di sana tetap tidak berubah.. Engg.. Kayaknya bukan teman deh..”
“Hh.. Yang sabar, ya, Ros. Kami di sini merindukanmu!”
“Aku jugaaaaaa!! Haha..”
“Kapan kamu balik ke Ponti?”
“Mmm? Mungkin pas liburan panjang. Belum pasti, sih. Tapi aku akan membujuk papa! aku kangen sama kalian. Terutama kamu. Miss you! Banyak yang mau aku ceritakan.” Aku melirik Molly. Ia sudah terlelap di kasurku.
“Ah! Sama! Aku juga! Rindu banget sama kamu. Jadi ingat waktu kita ke mall bareng yang lain.” Natasya pura-pura menangis.
“Cup cup cup.. Aku tau, kok, kalian ngefans sama aku. Tapi gak usah segitunya, kale.. haha!” aku tergelak.
“Ugh, Rosaa.. ck.. ck..”
“Hehe.. Ngg.. udah dulu deh, ya? Soalnya aku belum mandi nih. Baru pulang!”
“Ugh.. Pantesan dari tadi bau.”
“Ish.. Bisa aja..”
“Haha.. Iya iya. Mandi dulu, sana! Aku uda hampir pingsan, nih.” “Biar. Haha.. bye..”
“Bye..”
***
Aku berlari dengan kencang menuju ke kamarku. Menghiraukan teriakan mama yang memanggilku di dekat pintu depan rumah. Aku hanya ingin sendiri sekarang..
Aku melemparkan tubuhku ke ranjang.
“AKU BENCI MEREKA! MEREKA TIDAK BISA MENERIMA KEHADIRANKU! KENAPA?! KENAPA?!!” isakku.. Molly mendekati aku.
“Pergi, Molly.. aku ingin sendiri..” ucapku pelan. Aku tidak bisa menerima perlakuan mereka. Mereka menjahiliku dengan keterlaluan. Mereka mengotori seragamku, buku-bukuku..
Molly kembali mendekatiku.
“Molly, aku ingin sendiri!” kataku agak kasar.
Harusnya, mereka memberiku selamat, karena aku telah memenangkan lomba badminton untuk sekolah baruku. Tapi, apa yang mereka lakukan?! Mereka menyakitiku.. aku tidak berharap banyak. Aku hanya mau aku diterima dan dihargai oleh mereka. Hanya itu saja..
Molly kembali mendekat.
“MOLLY! KELUAR! JANGAN GANGGU AKU!” teriakku seraya menendang Molly hingga ia terpental keluar pintu kamar yang tidak ku kunci. Aku ingin sendiri!
Aku kembali terisak..
Beberapa saat kemudian.. aku mendengar suara teriakan mama diiringi suara klakson mobil yang memekakkan telinga..
***
Aku menabur bunga dengan rapi..
“Molly, maaf ya, aku baru sempat mengunjungimu sekarang. Soalnya banyak tugas yang menghambaaat..” kataku.
“Mm.. Teman-teman juga sudah mulai bisa menerimaku..” lanjutku..
Yah.. Dia telah pergi.. Sahabatku telah meninggalkanku. Meskipun ia hanya seekor anjing peliharaanku..
Senin, 14 Februari 2011
Doggy, Anjing Penolong
T
idak semua hal yang tidak kita sukai buruk. Kadang, hal itu bisa menjadi sangat indah di saat kita tidak menyadarinya..
Doggy adalah nama anjing peliharaan adikku, Gita. Aku sangat tidak suka pada Doggy. Dia suka mengendus, menjilat.. hiiy.. jijik! Memang hal itu lazim bagi seekor anjing seperti Doggy.
Pada suatu hari, aku sedang melihat-lihat piala hasil prestasiku yang terpajang rapi di ruang tamu. Doggy secara tiba-tiba menjilati kakiku. Aku yang kaget sontak menjatuhkan piala yang sedang ku pegang.
“Buk!” aku menendang Doggy dengan kasar hingga Doggy menabrak dinding.
“Suara apa itu, Kak?” tanya Gita.
“Ntah..” jawabku cuek. Gita langsung membawa peliharaannya itu ke kamar.
Suatu sore, aku pergi ke rumah Anis untuk mengerjakan tugas sekolah. Aku bersepeda ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Saat di perjalanan, aku melihat sebuah rumah dengan kebun yang saangaaat indah. Itu rumah tante Rosa. Setiap lewat jalan ini, aku selalu memandangi kebun itu dengan lama. Hingga aku tak bisa lagi melihatnya. Bunga-bunganya inda terawat. Rumput-rumputnya berwarna hijau segar..
Tiba-tiba terdengar suara klakson yang memekakkan telinga disertai suara “BUK!”. Entah apa yang tertabrak. Aku tidak tahu. Karena aku pingsan tak sadarkan diri.
***
Aku memegangi kepalaku yang sakit. Aku berada di.. ini.. kamarku? Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan Gita yang sangat keras. Aku segera pergi menghampirinya.
“Ada apa?” aku bertanya pada siapapun yang ada di ruang tamu. Di sana aku melihat papa, mama, Doggy yang berlumuran darah di pangkuan Gita, dan .. siapa itu? Seorang wanita berkemeja biru dan berjas putih tampak sedang memeriksa Doggy.
“Ia memang dokter.” Kata mama seolah tau apa yang sedang aku pikirkan. Aku duduk di sampingnya.
“Apa yang terjadi, Ma?” tanyaku. Mama menceritakan bahwa saat aku hampir saat aku hampir tertabrak mobil, Doggy yang diam-diam mengikutiku mendorong sepedaku yang tidak seimbang ke semak-semak, sehingga dia yang tertabrak mobil.
“Benarkah?” tanyaku tak percaya.
“Pak Joko, suami Tante Rosa yang menceritakannya. Dia juga yang membawamu ke rumah. Jawab mama.
***
Aku memencet bel rumah berkali-kali dengan kesal. Kemana semua orang? Huh! Bikin aku tambah kesal saja.. tadi di sekolah aku sudah diceramahi guru IPA-ku habis-habisan.. Tiba-tiba terdengar suara Doggy. Aku tersenyum. Lalu pintu terbuka.
“Sorry, Kak. Gita ngga dengar belnya. Hehe..”
“Gak apa-apa, kok.” Jawabku seraya menggendong Doggy dan menciumnya..
Persahabatan Di Bawah Gugur Daun
D
aun-daun pohon Jati tempatku bersandar mendayu-dayu dibelai hembusan angin. Beberapa daun yang berwarna hijau kekuningan mulai berjatuhan. Rumput-rumput yang ku duduki tak sesegar hari-hari sebelumnya. Semua itu terjadi karena musim kemarau telah tiba. Aku menghirup napas dalam-dalam. Kurasakan segarnya udara sore hari memenuhi dadaku. Semangat musim kemarau merasuki tubuhku. Aku tersenyum seraya menatap langit biru.
Cukup sampai hari ini, ku tutup novel yang ku baca sedari tadi. Aku harus segera pulang sebelum bunda mencariku. Walaupun aku tak berada jauh dari rumah, bunda pasti cemas bila aku pulang dari jalan-jalan soreku diatas pukul 6:30 meskipun aku sudah duduk dibangku SMA. Tepatnya 1 SMA. Bunda khawatir karena kompleksku ini tidak pernah ramai dengan penghuninya. Jarang sekali anak-anak kecil bermain di luar rumah. Sekarang aku berada di taman kompleks perumahan tempatku tinggal. Jarak taman ini hanya 7 rumah dari istana sederhanaku. Aku segera bangkit berdiri. Tiba-tiba, kaki kiriku menginjak kerikil hingga aku terpeleset dan hampir jatuh. Aku segera memegang pohon Jati ini dan mencoba berdiri. “Fiuuh.. Untunglah.” batinku lega karena aku masih bisa menyeimbangkan diriku tadi. Kakiku sedikit terkilir. But totally, I’m fine.
Mataku menangkap sesuatu yang tak asing bagiku. Desiran hebat ku rasakan di hatiku saat aku melihat benda itu. Entah apa yang ku rasakan. Rasanya seperti tertusuk sebilah belati yang menancap dalam. Mataku panas. Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan dari pelupuk mataku. Rasa penyesalan yang sudah ku kubur dalam-dalam tergali lagi hingga meninggalkan bekas di hatiku. Semakin aku mengingat hal yang tak ingin ku ingat, semakin besar luka itu. Oh, Tuhan.. Aku amat menyesal.. Andai waktu bisa diputar ulang..
Aku menatap ukiran berinisial “E & L” itu dengan perih. Pandanganku kabur karena terhalang air mataku. Tetapi ingatanku masih jelas. Ingatan tentang bagaimana bentuk ukiran di pohon ini, lika-likunya.. Yang paling penting, ingatan tentang siapa yang mengukirnya. Bagaimana wajahnya, senyumnya, sifatnya, suaranya, setiap candaan yang keluar dari bibir manisnya..
Aku memegang kulit pohon yang terukir itu dengan hati-hati. Saat aku menyentuhnya, rasa sakit di hatiku semakin terasa. Semua ingatan yang tak ingin ku ingat lagi, sekarang datang membayang-bayangiku dengan rasa bersalah dan menyesal.
I regret. Can I still have another chance?
*
Lima tahun yang lalu..
“Elyn.. Elyn..” sebuah suara yang sangat ku kenal memanggilku dari luar rumah. Aku segera berlari keluar tanpa memerdulikan omelan Kak Felix karena aku menabraknya.
“Hai! Kenapa?” tanyaku dengan senyum setelah aku membuka pintu dan berjalan mendekati pagar rumahku dan membukanya.
“Lagi ngapain? Ke taman yuk?” tanya Lizzy yang rumahnya hanya berjarak 2 komplek dari rumahku.
“Mmm.. Oke!” aku segera menutup pintu rumah dan pagar rumahku. Tak lupa aku meminta ijin pada bunda dan memeletkan lidah pada kak Felix sebelum pergi. Lizzy, sahabatku itu berjalan dengan tergesa-gesa. Nampaknya ia tak sabar akan suatu hal. Setelah sampai di taman yang jaraknya hanya 7 rumah dari rumahku, ia segera menarikku ke dekat pohon Jati yang berdiri kokoh di tengah-tengah taman.
“Ada apa, sih?” tanyaku pensaran.
“Lihat nih..” tunjuknya pada sebuah ukiran yang ia buat. Ukiran itu berinisial nama kami. Aku tersenyum.
“Bagus.” pujiku. “Kamu yang buat?”
“Iyap! Aku harap persahabatan kita tak akan tetap kokoh seperti pohon ini.”
“Amin.” kataku seraya tersenyum.
“Oh, ya! Gimana kalau kita tulis impian-impian kita di kertas, lalu kita kubur di bawah pohon ini? Siapa tau impian kita yang setinggi langit akan tercapai seperti tingginya pohon ini!” katanya bersemangat. Seperti biasa, otaknya penuh dengan ide-ide gila menyenangkan yang tak pernah ku pikirkan sebelumnya.
“Amin lagi.”
“Nih..” Lizzy menyerahkan selembar kertas dan sebuah pen kepadaku. Aku dan dia mengambil posisi duduk yang nyaman di bawah pohon dan terlindung dari sinar matahari. Kemudian kami mulai menulis mimpi-mimpi kami. Dari yang bisa dicapai, hingga yang tak mungkin dicapai. Hanya semilir angin dan kicauan burung yang menemani kami saat kami beripikir dan menulis impian kami. Daun-daun pohon Jati mulai berguguran lagi. Angin tak henti-hentinya membelai daun-daun pohon itu.
“Selesai!” kataku. Aku melirik sahabatku. Ia mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan sebuah botol kosong dan menyimpan kertas-kertas impian kami di dalamnya. Kami berdua menggali sebuah lubang kecil dengan tangan dan mengubur botol itu.
“Botol itu dibuka kalau kita uda SMA, ya! Kita akan membukanya sama-sama! Janji?” katanya.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Hingga suatu hari..
“Kamu tau ngak, Ra? Aku tuh benci banget sama dia! Dia tuh tukang pamer, sok kaya, sombong, dan suka membicarakan tentang kehebatan-kehebatan dia yang tak nyata!” aku tak sengaja mendengar pembicaraan Dara dan Lizzy di dalam kelas kosong setelah pulang sekolah. Aku memutuskan untuk mendengar lebih lanjut.
“Ih, pengen aku cakar mukanya. Aku gak betah duduk di samping dia..”
Deg! Benarkah itu? Tapi.. tapi.. mungkin ‘dia’ yang Lizzy maksud bukan aku. Karena aku duduk di samping Lizzy di dalam kelas.
“Positif think, Elyn..” batinku menenangkan jantungku yang mulai berdegup kencang.
“Emang dia siapa?” tanya Dara yang sama penasarannya denganku.
“Hhh..” Lizzy menghela napas. “Siapa lagi kalau bukan cewek paling centil di kelas kita? Yah, Eline lah!”
Hah?! Apa?! Apa aku tak salah mendengar hal itu? Elyn?! AKU?!
“Eline?” ulang Dara.
“Ya! Eline!”
Astaga.. Apa salahku? Semua itu tidak benar! Lizzy memfitnahku! Betapa kejamnya dia! Aku kira, dia sahabat yang baik! Ternyata.. Ternyata di balik kebaikannya itu.. Air mataku mulai membasahi pipiku. Aku segera berlari keluar gerbang sekolah tanpa memerdulikan orang-orang yang menatapku dengan bingung.
Hari-hari t’lah berlalu, aku menjauhi Lizzy sebisaku. Bahkan, aku membujuk wali kelasku untuk mengijinkan aku pindah tempat duduk. Seperti yang Lizzy harapkan. Aku juga tidak mau duduk di samping pengkhianat seperti dia!
*
Hingga pada suatu hari, Lizzy menegurku dengan senyum yang biasanya. Tapi aku pura-pura tidak melihatnya dan terus berjalan. Ia menarik tanganku hingga aku bertatap muka dengannya.
“Elyn! Kamu kenapa, sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauhiku. Apa salahku? Kamu berubah! Kamu tak mau lagi berbicara denganku. Kamu tidak memerdulikanku!” Lizzy berbicara dengan nada tinggi. Mungkin ia marah karena aku tak memerdulikannya selama ini. Tapi.. Itu salah dia! Jangan salahkan aku.
“Kamu kenapa?” suaranya melemah.
“Tanya saja pada dirimu sendri apa salahmu! Dasar tukang fitnah!” sergahku dengan tajam.
“Ha?! Maksudmu?!” tanya Lizzy heran.
“Halah! Gak usah pura-pura gak tau! Mulai sekarang, jangan pernah anggap aku temanmu, apalagi sahabatmu! Karena kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku mulai detik ini! Aku benci kamu! Aku muak dengan ide-ide gilamu!” jeritku sambil menahan amarah. Lizzy terdiam. Aku berlari segera meninggalkannya.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihat Lizzy di sekolah. Tak ada kabar dari dia. Aku tak tahu apa alasannya dan tidak mau tahu. Aku tak peduli lagi dengan dirinya.
Belakangan ini ku ketahui dari bunda, dia dan keluarganya pindah ke Yogyakarta. Hanya itu yang ku tahu. Aku tak berniat mencari tahu lebih banyak lagi. Tak ada gunanya bagiku.
*
4 bulan berlalu setelah peristiwa itu..
Aku mulai terbiasa di sekolah tanpa dia. Kadang, aku rindu dengan ide-ide gilanya. Tetapi saat aku mengingat apa yang dikatakannya padaku, rasa marahku yang tak tertahankan membuatku ingin mencekiknya..
Hari ini, kelas kami menerima murid baru pindahan SD lain. Kami menyambutnya dengan hangat. Ia duduk di sampingku. Dari perkenalan singkatnya tadi, aku mengetahui ia bernama Eline. Cara memanggil namanya sama dengan cara memanggil namaku. Yang berbeda hanya tulisannya. Aku mengetahui perbedaan itu setelah aku melihat nama di seragam bajunya. ‘Eline C P’ begitu yang tertulis. Aku membuka pembicaraan.
“Hai, Eline.” kataku dengan senyum. Ia balas tersenyum.
“Hai.” katanya.
“Oh ya. Namaku Evelyn Ernata Ely. Biasanya, teman-temanku memanggil ku ‘Elyn’. Salam kenal.”
“Oh, nama panggilan kita sama. Nama lengkapku Eline Clrassia Putri. Senang berkenalan denganmu. Hehe..” ia tersenyum. Manis sekali.
Aku kira, Eline adalah anak yang baik dan cocok untuk dijadikan teman akrab. Ternyata tidak. Ia sangat sangat sangat sombong. Semua alat tulisnya yang mahal, ia pamerkan pada teman-teman sekelasnya. Harusnya aku mengingat pepatah: “Don’t judge a book from it’s cover”
*
“Eh, anak baru yang namanya Eline itu sombong banget, ya!” kata Rere pada Dara.
“Emang! Sombong banget! Kemarin, dia memamerkan kotak pensil barunya padaku. Katanya, ‘papaku membelikannya dari Jerman untukku!’ ” Dara meperagakan gaya Eline berbicara. Rere tertawa. Aku yang duduk di samping mereka pun tertawa.
“Hahaha..” tawaku lepas.
“Haha! Emang gayanya gitu, ya?” tanya Rere yang masih cekikikan.
“Yaaah.. Kurang lebih, lah.” Dara mengedipkan sebelah matanya pada kami. Aku dan Rere kembali tertawa.
“Oh ya, Ra. Katanya, Eline itu tempat lesnya sama dengan kamu, ya?” tanya Rere.
“Iya! Makanya aku tak suka dengan dia semenjak dia pertama kali masuk ke kelas kita.”
“Ouh..” aku dan Rere membentuk mulut kami seperti huruf O.
“Dulu, temanku yang satu les dengan kami juga sangat membencinya. Malang sekali temanku itu. Ia harus duduk satu bangku dengan Eline.” jelas Dara.
hah!? Apa?
“Ha? Yang bener?” tanya Rere.
“Yup. Kalau kamu gak percaya, tanya aja sama dia. Eeh, sorry.. gak bisa.” ralat Dara dengan cepat.
“Lah, kenapa?” tanya Rere.
“Dia udah pindah ke Yogyakarta.”
Astaga..
“Eh, Ra, Elyn, aku pulang dulu, yah. Babai..” kata Rere memotong pembicaraan. Dara tersenyum dan mengangguk, sementara aku hanya terdiam. Setelah mobil Rere menghilang di balik tikungan jalan menuju sekolah, aku membuka pembicaraan dengan Dara.
“Dara, teman yang kamu maksud itu.. Lizzy?” tanyaku hati-hati.
“Iya.” jawab Dara santai. “Kenapa?”
Hatiku terasa perih..
“KIra-kira 4 bulan yang lalu.. Ketika kamu dan Lizzy berdua di dalam kelas kosong sepulang sekolah, kalian membicarakan Eline?”
“Ngg..” Dara mencoba mengingat-ingat. “Gak tau, yah. Soalnya kami sering membicarakan Eline.”
“Oh.” sahutku lemas..
“Eh, 4 bulan yang lalu? Itu.. Sehari sebelum kamu pindah tempat duduk dari samping Lizzy? Iya iya! Kami membicarakan Eline. Kenapa?” tanya Dara. Aku menggeleng cepat.
“Aku duluan, ya.” Aku segera berlalu.
Dalam perjalanan pulang, aku menangis. Aku menyesal telah menyalahkan Lizzy. I know that I’m leaving my best fiend. Ini semua salah paham! Kenapa aku begitu bodoh?!
*
Itu semua yang ku ingat..
Air mataku jatuh kian deras. Aku duduk kembali di atas rumput-rumput di bawah pohon Jati itu. Aku menggali lubang tempat dimana aku dan Lizzy memendam impian-impian kami. Aku mendapati sebuah botol putih. Aku segera mengambilnya. Aku membuka isinya dan membaca kertas milik Lizzy.
Impianku..
aku mau keluargaku bahagia dan sehat selalu
aku mau nilai-nilai raporku bagus
aku mau menjadi juara kelas
dan yang paling penting..
aku mau persahabatan aku dan Evelyn Ernata Ely abadi seperti pohon Jati ini!! :D
Aku kembali menangis. Kakiku lemas, aku terduduk di bawah pohon jati itu. Langit sudah berwarna biru abu-abu. Semburat mega yang berwarna kuning jingga berkelompok sejauh pandanganku. Aku menekuk kakiku dan menenggelamkan wajahku di baliknya. Aku kembali terisak.
“Andai waktu bisa diputar ulang..” kataku lirih.
“Kamu tidak perlu memutar ulang waktu, kita bisa memulai semuanya dari awal lagi.” sebuah suara yang amat ku kenal mengagetkanku. Aku menengadahkan kepalaku. Aku terkejut.
“Hai.” sapa sang pemilik suara. “Lama tak jumpa. Kamu rindu nggak sama aku?” tanyanya. Aku tak mampu berkata-kata.
“Ditanya kok gak jawab?” ia membantuku berdiri hingga aku bertatap muka dengannya.
“Lizzzyy!!” aku memeluk sang pemilik suara dengan kuat. Aku enggan melepasnya. Ya, sahabat yang dulu ku sia-siakan telah kembali. Sahabat? Apakah ia masih menganggapku seorang sahabat?
“Lizzy.. maafkan aku. Aku salah paham waktu itu. Aku yang salah.. aku..”
“Sudahlah, itu sudah lama. Tak ada gunanya diungkit-ungkit lagi.”
“Tapi..”
“Shhtt.. sekarang, liat aku.” Lizzy menangkap mataku. “Aku sudah di sekarang, di depanmu. Kita bisa memulainya dari awal.” katanya sambil tersenyum. “Now.. apakah kamu menyambutku dengan cara seperti ini? Dengan tangisan? Tak maukah kamu tersenyum kepadaku? Sudah lima tahun aku tidak melihat senyum manismu. Aku rindu.” katanya. Aku tersenyum tipis.. senyuman tipis yang berubah menjadi lebar dan senyuman bahagia.
“Akuu..” Lizzy menghentikan ucapannya.
“Ya?” tanyaku setelah aku berhenti menangis.
“Aku..”
“Kamu kenapa?”
“Aku kebelet mau ke kamar kecil. Numpang di rumahmu, ya? Hehe..”
“Ya e lah.. Kenapa gak bilang dari tadi?”
“Hehe.. Aku juga rindu dengan kue buatan bundamu. Oh ya, sudah lama kita tidak mengerjai Kak Felix sama-sama. Bagaimana kabar keluargamu?”
“Bunda baik. Ayah sehat. Kak Felix tidak berubah sama sekali. Malah sekarang tambah jahil.”
“Oh.. Aku sudah tidak sabar. Haha..”
Kami berdua berjalan meninggalkan taman kompleks menuju istana sederhanaku. Seorang putri yang lama pergi telah kembali hari ini. Daun-daun pohon Jati mulai berguguran lagi. Aku harap, pohon Jati itu akan terus berdiri selamanya, seperti persahabatan kami..
Sorry, I’ll never do it again..
Finally, He give me a second chance.. thanks, God..
end =)
“ Indahnya dunia hanya sementara..
Indahnya cinta hanya seketika..
Indahnya mimpi tak pernah pasti..
Tapi indahnya persahabatan akan selalu abadi.. ”
Sahabat Sejati
N
amaku Celine. Aku seorang anak perempuan yang memiliki kehidupan yang sama seperti anak-anak lainnya. Sampai, hari itu datang. Pada saat itulah aku sadar, kesalahan terbesarku adalah menjual nyawa sahabatku sendiri pada maut demi kesenanganku..
“Tok.. tok.. tok..” Terdengar suara ketukan pintu. Dengan cepat aku berlari keluar kamar. Ternyata yang mengetuk pintu Claudia, sahabatku sejak TK.
Sekarang kami sudah kelas 6. Persahabatan kami sudah berumur 8 tahun. Ia mengunjungiku karena ia ingin meminjam novel yang baru ku beli yang berjudul “The Girl”. Aku harus rela mengeluarkan uang sebesar 150.000 untuk membeli 5 edisi novel ini sekaligus. Aku akan meminjamkan edisi 1 pada Claudia.
Selain aku dan Claudia yang bersahabat, orangtua kami pun menjalin hubungan bisnis. Makanya, hubungan keluarga kami sudah sangat dekat sejak dulu.
***
Suatu hari, tante Lia, mamanya Claudia mengajakku pergi berlibur ke pantai bersama keluarganya.
“Tentu saja aku ikut!” jawabku mantap. Kami pergi pada hari Minggu. Tentu saja kepergianku disetujui oleh kedua orangtuaku.
Pada saat mobil berhenti, aku dan Claudia turun dan berlari ke tepi pantai.
“Berenang yuk!” ajakku.
“Mm.. enggak ah.” Tolak Claudia.
“Ayolah.. kita main sambil berenang!” aku memaksa.
“Mm.. ya udah..” jawabnya kurang bersemangat.
Aku tau Claudia kurang mahir berenang. Dia juga memiliki trauma masa lalu, dia pernah tenggelam. Tapi yang ada di pikiranku sekarang hanya berenang berenang dan berenang.
Saat aku dan Claudia sedang berada di air, tiba-tiba saja ombak besar menghantam kami. Claudia terseret arus ke tengah laut. Aku berusaha menarik tangannya, tapi peganganku terlalu lemah, tangannya pun terlepas dari genggamanku. Aku meminta tolong, tetapi tidak ada yang menghiraukan.
Aku langsung berenang ke tengah laut untuk menolong sahabatku. Tapi tiba-tiba ombak menghantam balik. Tubuhku terdorong arus yang sangat kuat. Aku dan Claudia terlempar ke daratan.
***
Aku berusaha menyesuaikan mataku dengan cahaya di sekitar yang sangat terang.
“PEMBUNUH!” tante Lia tiba-tiba menamparku.
“A.. apa?” aku kaget. Ayah Claudia segera menarik tante Lia keluar kamar. Lalu, seorang petugas pantai masuk ke ruanganku.
“A.. apa yang terjadi?” tanyaku padanya. Petugas pantai itu mengatakan bahwa saat ombak menyeret kami ke daratan, kepala Claudia membentur batu karang dan terjadi pendarahan. Ia pun meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Setelah kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihat keluarga Claudia. Mungkin mereka sudah pindah ke luar kota. Ayah dan bunda melarangku menghadiri upacara pemakaman sahabat tersayangku.
Tapi, meskipun Claudia sudah pergi, aku masih terus memikirkannya. Sampai, sekarang. Ketika aku sudah berumur 21 tahun. Aku masih takut dan trauma untuk bersahabat.
Itulah kisahku..
Jumat, 11 Februari 2011
Bisikan Semangat
Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Menyeret kakiku dengan enggan tanpa tujuan. Kendraan berlalu-lalang tanpa memerdulikanku. Lagian, siapa aku, sampai harus diperdulikan mereka? Keluargaku saja tidak ada yang memerdulikanku. Hujan yang dari tadi turun berhasil mengguyurku hingga basah kuyup. Untung saja aku mengenakan jaket hitam kesayanganku. Jadi aku tidak gemetar karena kedinginan.
Pikiranku kembali melayang ke rumah. Bunda dan ayah pasti masih beradu mulut tanpa ada yang mau mengalah. Aku yang berusaha melerai pun terkena imbasnya. Aku dimarahi, dicaci, oleh ayah. Mereka sudah tidak menyayangiku. Aku pasti bukan anak kandung mereka. Lantas, siapa orangtua kandungku? Air mataku kembali mengalir..
***
“SUDAH! KEMATIAN RANDY BUKAN SALAHKU! SAMPAI KAPAN KAMU AKAN BERHENTI MENGUNGKIT-UNGKIT INI , RIO?!” teriak bunda pada ayah dari dapur.
“ALAH! SIAPA LAGI KALAU BUKAN KAMU?! KAMU YANG MEMBIARKANNYA MENGGUNAKAN OBAT TERLARANG ITU HINGGA OD, KAN?!” teriak ayah tak mau kalah.
Kak Randy adalah saudara kandungku satu-satunya. Ia lebih tua dua tahun dariku. Dua bulan yang lalu, ia ditemukan tewas di ruang tamu bersama seorang perempuan karena over dosis memakai narkoba.
Aku yang duduk di ruang tamu segera menghampiri ayah dan bunda.
“INI SEMUA SALAHMU!” ayah berteriak.. kemudian.. plak! Ayah menampar bunda! Baru kali ini aku melihat ayah menampar bunda! Air mataku jatuh, aku kaget. Ayah dan bunda menoleh ke arahku.
“Riska..” panggil bunda.
Aku berlari ke kamarku, ayah dan bunda mengejar. Aku ingin menutup pintu kamar rapat-rapat. Berharap semua itu hanya mimpi. Tapi gagal, ayah sudah menahan pintunya, dan mereka masuk.
“Maaf..” kata bunda. Aku memejamkan mataku. Semua perasaanku bercampur menjadi emosi yang meluap-luap.
“KENAPA?!” teriakku. “Kenapa ayah menampar bunda?! Apa salah bunda?!”
“Apa salah bunda?” ulang ayah. “Apa salah bundamu?!” kali ini nada suaranya ditekan. “DIA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN KAKAKMU! RANDY! BUNDAMU YANG MEMBUNUHNYA!” teriak ayah dengan emosi. Aku kaget. Aku belum pernah melihat ayah semarah ini.
“AKU TIDAK MEMBUNUH ANAKKU!” jerit bunda.
“Diam kau!” ayah mengangkat tangan hendak menampar bunda. ‘Kau’? Ayah memanggil bunda dengan sebutan itu?!
“AYAH!” teriakku. Ayah pun mengurungkan niatnya melukai pipi dan hati bunda.
“Kenapa kalian tiba-tiba mengungkit hal ini?! Sudah dua bulan kak Randy pergi. Tapi kenapa kalian beradu mulut sekarang?!” tanyaku sambil terisak.
“Kamu mau tau, Riska?” suara ayah memelan. Aku mengangguk. Benarkah aku mengangguk? Sedikit saja aku menggerakkan leherku. Karena aku tak yakin, apakah semua akan lebih baik setelah aku mengetahui semuanya.
“Jangan, Rio.. kumohon.. ini hanya salah paham!” kata bunda.
“Aku bilang diam!” ayah meneriaki bunda, lagi. Oh, Tuhan.. aku tak pernah mengharapkan datangnya hari ini.
“Ayah, sudah..” aku mulai menangis.
“Kamu tentu kenal dengan Siska.” Ayah memulai ceritanya. “Teman kakakmu yang menjerumuskan kakakmu ke jurang itu. Ternyata dia anak tante Ria, teman bunda yang paling akrab.” Tidak.. aku tidak mau mendengar lanjutannya. “Tadi..” ayah menghela nafas. “Ayah tidak sengaja membaca sms tante Ria” ayah menghela napas panjang. Lebih panjang dari yang sebelumnya.
“Bundamu yang merencanakan pertemuan kakakmu dengan gadis itu! Anak tante Ria!” be.. benarkah itu?
“TIDAK! Itu salah paham! Bunda mohon, Riska, jangan dengar kata ayahmu. Bunda hanya bermaksud menjodohkan kakakmu dengan anak tante Ria. Bunda juga tidak menyangka, kalau akhirnya akan seperti ini..” bunda menangis.
“JANGAN BERBOHONG!” bentak ayah.
“AKU TIDAK BER..” plak! Ayah menampar bunda, lagi!
“HENTIKAN!” jeritku. Tega-teganya kedua orangtuaku saling membentak dan menyakiti di depanku. Ayah dan bunda kaget melihat reaksiku. Ayah menghela napas panjang sambil menutup matanya.
“Diam kau! Kau hanya anak kecil yang tidak tau apa-apa! Jangan banyak bicara!” ayah tiba-tiba membentakku. Aku kaget.
“A-a.. apa?!” aku terisak. Apa yang terjadi dengan ayah?! Tadinya ia tidak seperti ini.
“Anak kurang ajar! Jangan suka mencampuri urusan ayah!” kenapa ayah?! Ada apa dengannya?! Kenapa semua emosinya ia tumpahkan padaku?!
“AAARGHH!!” aku segera berlari keluar kamar, mengacuhkan teriakan yang memanggil dan mengancamku. Aku membuka pintu rumah dengan kasar. Aku berlari sekencang-kencangnya. Yang aku inginkan hanya satu: pergi jauh-jauh dari hadapan kedua orangtuaku, dan.. sekarang aku di sini. Di jalanan dan berjalan tak menentu. Sendiri..
“Hhh..” aku menghela napas. Tiba-tiba pikiran untuk mengakhiri hidup melintas di kepalaku. Aku tersenyum pahit.
Benar juga.. aku pasti akan bahagia seperti kak Randy. Tidak perlu tersiksa oleh dunia. Tidak perlu mendengar pertengkaran ayah dan bunda. Mendengar jeritan-jeritan mereka yang menyayat hati.
Aku mendongakkan kepala. Jembatan layang yang tinggi itu tampak seperti jembatan menuju surga.. atau neraka? Aku tida tahu. Yang pasti, aku ingin segera mengakhiri semua ini. Yah, semuanya..
Dengan pasti aku melangkah ke arah jembatan itu. Aku menaiki tiap anak tangganya dengan perlahan.
Dulu, kami adalah keluarga bahagia. Bunda dan ayah selalu akur, seperti aku dan kakakku.
“Kakak janji, kakak akan selalu menjagamu. Membahagiakan ayah dan bunda.” Kata-kata kak Randy masih terngiang-ngiang di kepalaku.
“Kamu percaya dengan kakak?” tanyanya dengan senyum.
“Ya! Riska percaya.” Jawabku dengan senyum juga.
Aku kembali menangis. Kenapa semua berubah begitu cepat? Rasanya, baru kemarin kak Randy ada di sisiku. Membantuku mengerjakan PR, bermain game bersamaku, menemaniku, mendengar semua cerita-ceritaku..
“Kalo nanti besar, Riska mau jadi apa?” tanya bunda.
“Riska mau jadi suster!” jawabku mantap.
“Kenapa mau jadi suster?” tanya ayah.
“Iya dong, soalnya kakaknya kan calon dokter.” Celetuk kak Randy yang masih berumur 7 tahun.
“Haha.. bagus-bagus. Anak ayah dan bunda punya cita-cita yang bagus. Nanti pasti jadi orang sukses.”
“Bukan orang sukses, ayah.. Tapi dokter dan suster.” Jelasku dengan polosnya.
Kak Randy, ayah, bunda.. hh.. Aku menggenggam pagar jembatan dengan kuat. Mungkinkah aku harus berpamitan dulu dengan mereka? Dengan ayah, bunda, keluargaku.. Tidak! Tidak.. mereka tidak memerdulikanku. Keluarga hanya sebuah nama! Mereka berlindung dibalik nama itu. Padahal, mereka tak pernah memerdulikanku. Aku mengangkat sebelah kakiku. Tanganku memegang pagar jembatan dengan mantap. Aku menutup mata.
“Selamat tinggal, semua.. Kak, tunggu Riska, ya.” Batinku dalam hati. Aku menangis. Ku tutup mata sambil merasakan ajalku yang kian mendekat menghampiriku. Ajal yang akan membantuku keluar dari penderitaan duniawi yang begitu kejam.
“Riska..” sebuah suara mengagetkanku. Spontan aku menoleh ke arah suara itu.
“Kak.. kak..” aku tergagap.
“Riska..” panggilnya dengan senyuman.
“Kak Randy?!” aku kaget. “Kenapa Kakak bisa di sini?”
Kak Randy tak memerdulikan pertanyaanku. “Riska, jangan bodoh. Jangan lakuin hal itu. Itu dosa, Ris.. dosa.” Kata kak Randy. Aku hanya menunduk.
“Kamu masih ingat janji kakak sama kamu dulu?” tanyanya. Aku mengangguk perlahan.
“Kakak minta maaf. Kakak gak bisa nepatin janji kakak. Kakak juga minta maaf, karena kakak gak bisa bantu kamu menggapai cita-citamu.” Kata kak Randy tenang, masih dengan senyuman. Aku kembali menangis. Aku ingin mengutarakan semua isi hatiku. Aku ingin menangis sepuasnya. Tapi tubuhku menolak perintah otakku. Aku hanya berdiri dan menangis dalam diam.
“Itu semua bukan salah bunda! Jadi, kakak minta tolong sama kamu, ceritakan ke ayah kalau bunda memang berniat menjodohkan kakak dengan Siska. Yang bunda tidak tau, kakak dan Siska sudah saling mengenal dan kami memang memakai obat-obatan.” Kak Randy membelai rambutku.
“Kakak menyesal, Ris. Kakak telah menyia-nyiakan masa depan kakak. Kakak telah menyakiti orang-orang yang kakak sayang. Kakak akan tenang di sana kalau kalian hidup rukun. Kalau kalian bahagia, kakak juga akan bahagia..” kata kak Randy sambil menghapus air mataku. Ingin sekali aku memeluknya. Tetapi tubuhku masih tidak menuruti perasaan dan otakku.
“Janji sama kakak, jangan lakuin hal ini lagi, ya?” tanya kak Randy. Aku mengangguk.
“Bagus..” kak Randy memelukku. Aku menangis makin jadi. Aku membalas pelukan Kak Randy dengan kuat, aku tak ingin membiarkannya pergi lagi. Makin lama, tubuh kak Randy terbang membawaku. Terbang jauuh, ke angkasa. Apakah ini yang namanya kematian?
***
Tiba-tiba, cahaya terang memaksa masuk ke mataku. Aku membuka mata dengan susah payah, menghirup napas sebisaku, kepalaku sakit. Terdengar suara orang-orang berbicara. Aku berusaha menangkap pembicaraan mereka.
“Dok, Dok! Jantung pasien kembali berdetak!”
“Risskaa!! Terimakasih, ya Tuhan..” itu.. itu suara bunda!
“Bu, Pak, lebih baik Ibu dan Bapak tunggu di luar.” Kini suara seorang perempuan yang terdengar.
“Dok, Dok.. lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok.” Suara ayah!
“Ya, pasti. Anda tenang saja.” Jawab seorang pria. Aku mendengar suara pintu ditutup. Sebuah cahaya kembali memaksa masuk ke mataku. Kali ini lebih terang dan sangat silau. Suara mesin-mesin juga terdengar. Kemudian semuanya menjadi gelap lagi..
***
Cahaya kembali memaksa masuk ke mataku. Tapi kali ini tidak terlalu menyilaukan. Aku berusaha mengangkat tangan dan memegang kepalaku yang sakit. Selang-selang infus menahan tanganku. Butuh usaha yang keras..
“Riska! Ayah, Riska sadar!” suara bunda terdengar, kemudian aku mendengar suara derap kaki mendekat.
“Cepat panggil dokter!” perintah bunda, terdengar lagi suara langkah kaki yang menjauh dengan tergesa-gesa. Beberapa saat kemudian, pintu dibuka dengan kasar. Cahaya putih silau kembali memaksa masuk ke mataku. Kemudian..
“Keadaan anak Bapak dan Ibu mulai membaik. Ini sebuah mujizat. Padahal sebelumnya, ia koma selama 3 hari.”
“Riskaa..” aku merasakan ada yang memelukku. Aku berusaha membuka mata. Bunda? Bunda menangis.. Aku mengangkat tanganku dan memegang punggung bunda.
“Bunda, jangan menangis.” Kataku sedih. Bunda segera melepas pelukannya, lalu menyeka air matanya.
“Riska, maafin ayah dan bunda. Ayah terlalu emosi saat itu. Ayah tau ayah salah. Semua ini hanya salah paham.” Kata ayah.
“Ayah, sebenarnya..” aku kemudian menceritakan apa yang ku alami sebelum aku berada di sini.
“Mungkin Ayah dan Bunda tidak percaya. TapiRiska tidak akan berbohong soal ini.” Aku mengakhiri ceritaku.
“Bunda percaya, Riska. Kemarin, kakakmu datang ke mimpi Bunda dan Ayah secara bersamaan. Kakakmu menceritakan sama seperti yang kamu katakan tadi.” Jelas bunda.
“Maafin ayah dan bunda. Ayah janji hal ini gak akan terulang lagi.” kata ayah sambil mengelus rambutku. Aku tersenyum.